Seorang mantan menteri dalam negeri dan penegak hukum untuk seorang presiden Gambia yang kejam dan otoriter dinyatakan bersalah atas kejahatan terhadap kemanusiaan pada hari Rabu karena penyiksaan dan eksekusi warga sipil dan dijatuhi hukuman 20 tahun penjara oleh pengadilan federal Swiss. Putusan, yang salah seorang saksi sebut sebagai “sebuah tonggak sejarah” bagi para korban, datang setelah sidang pengadilan yang diikuti dengan seksama oleh korban represi pemerintah. Mantan menteri tersebut, Ousman Sonko, 55, dinyatakan bersalah atas sejumlah tuduhan pembunuhan dengan sengaja, penyiksaan, dan penahanan yang salah yang dilakukan, ujar pengadilan, sebagai “bagian dari serangan sistematis terhadap populasi sipil” negara Afrika Barat tersebut. Pengacaranya mengatakan bahwa ia akan mengajukan banding atas putusan tersebut. Sonko, yang pindah ke Swiss pada tahun 2016 dan telah ditahan di sana sejak ditangkap pada tahun 2017, ketika sebuah kelompok hak asasi manusia yang berbasis di Jenewa menyampaikan aduan pidana terhadapnya, akan menjalani 13 tahun penjara lagi dan kemudian diusir ke Gambia. Kasus ini diadili di Swiss berdasarkan prinsip hukum yurisdiksi universal, yang memungkinkan negara-negara mengadili kejahatan serius tanpa memperdulikan tempat di mana kejahatan tersebut dilakukan. Sonko pernah menjabat sejumlah jabatan keamanan yang kuat di bawah Yahya Jammeh, seorang otoriter eksentrik yang memerintah Gambia selama 22 tahun sebelum melarikan diri ke Guinea Khatulistiwa setelah kalah dalam pemilu tahun 2017. Sonko naik pangkat dari komandan pengawal presiden menjadi kepala polisi dan kemudian menjadi menteri dalam negeri, pos yang dipegangnya dari tahun 2000 hingga 2016. Selama periode itu, ujar pengadilan, lawan politik, jurnalis, dan kritikus pemerintah “biasa disiksa, dieksekusi tanpa pengadilan, ditangkap secara sewenang-wenang, dan ditahan”. Jaksa menuduh Sonko terlibat dalam pembunuhan seorang tentara yang dicurigai merencanakan kudeta, Alameh Manneh, dan dalam pemukulan dan pemerkosaan berulang terhadap janda Manneh, Binta Jamba. Ia juga dituduh menyiksa pemimpin partai oposisi, Ebrima Solo Sandeng, yang meninggal dalam tahanan negara pada tahun 2016. Pengadilan Swiss tidak menganggap bahwa tindakannya telah bermuara pada kejahatan berat terhadap kemanusiaan, yang bisa membuatnya dijatuhi hukuman seumur hidup, namun ia dijatuhi hukuman maksimal yang mungkin di penjara untuk tuduhan kejahatan non-agravasi. Pengadilan juga tidak memutuskan tentang tuduhan pemerkosaan meskipun kesaksian dari Ny. Jamba bahwa ia telah diperkosa dan disiksa dengan kekerasan oleh Sonko. Tuduhan itu dibatalkan, karena pengadilan menganggapnya sebagai kejahatan individu yang berada di luar yurisdiksinya. Annina Mullis, yang mewakili Ny. Jamba, menyatakan bahwa keputusan itu adalah bagian dari pola lebih luas dari pengadilan yang mengabaikan pemerkosaan sebagai bagian dari kekerasan sistematis. “Saya kecewa bahwa pengadilan gagal memanfaatkan kesempatan ini untuk mengakui kekerasan seksual sebagai alat represi,” ujarnya. Benoit Meystre, seorang pengacara untuk TRIAL International, kelompok advokasi hukum yang berbasis di Jenewa yang memulai kasus terhadap Sonko pada tahun 2016, menggambarkan putusan itu sebagai “sejarah”. Pengadilan Eropa telah mencoba sejumlah individu atas kejahatan di bawah yurisdiksi universal dalam beberapa tahun terakhir, namun Sonko, sebagai mantan menteri pemerintah, adalah pejabat negara tingkat tertinggi yang pernah diadili, ujar Meystre, memberikan peringatan bahwa jabatan tidak menjamin impunitas. Fatoumatta Sandeng, seorang plaintiff dalam kasus ini dan putri pemimpin oposisi yang disiksa, berada di pengadilan untuk mendengar putusan. Setelah itu, ia menyatakan dalam sebuah pernyataan: “Saya sangat senang dan lega. Putusan ini adalah tonggak penting bagi kami para korban”. Ia juga menyatakan bahwa “sangat baik mendengar” bahwa pengadilan akhirnya mengakui bahwa Sonko bertanggung jawab atas kematian ayahnya. Pengacaranya, Nina Burri, meluapkan penyesalan bahwa pengadilan tidak mempertimbangkan tuduhan kekerasan seksual sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan namun menyebut putusan itu “langkah penting dalam perjuangan melawan impunitas” yang menunjukkan bahwasanya pejabat tertinggi pun tidak dapat menyembunyikan diri danakan bertanggung jawab. Philippe Currat, pengacara untuk Sonko, mengatakan dalam sebuah wawancara telepon pada hari Rabu setelah putusan, “Kita pasti akan memiliki putaran kedua.” Currat mengatakan bahwa pengadilan gagal membedakan antara peran individu Sonko dalam peristiwa tersebut dan peran yang dimainkan oleh aktor lain. “Bukan karena dia seorang menteri maka ia bertanggung jawab atas semua yang terjadi di negara itu,” ujar pengacara tersebut. Dalam pembelaannya, Sonko mengatakan bahwa ia berusaha untuk profesionalisme polisi dan tidak pernah bertanggung jawab atas Badan Intelijen Nasional, yang menahan dan menyiksa para pendemo, termasuk Sandeng, pemimpin oposisi. Aktivis Gambia berharap bahwa pengadilan terhadap Sonko akan mendorong pemerintahan Presiden Adama Barrow untuk mengambil tindakan yang telah dijanjikan sejak lama terhadap tuntutan korban atas pertanggungjawaban atas kejahatan era Jammeh. Plaintif lain di Gambia menyambut baik putusan Rabu ini. “Keadilan akhirnya datang,” kata Madi Ceesay, seorang jurnalis yang ditangkap dan disiksa pada tahun 2006, setelah ia menulis kolom mengkritik kudeta, termasuk kudeta pada tahun 1994 yang membawa Jammeh berkuasa. Surat kabarnya, The Independent, juga ditutup. Karena Sonko dan Jammeh bertindak begitu kuat, kata Ceesay, “Saya tidak pernah berpikir bahwa suatu hari seperti ini akan datang.” Ceesay mengatakan bahwa jika ia mempertimbangkan Sonko sebagai “orang di pusat perhatian” terkait dengan penangkapannya dan penyiksanya, Jammeh juga harus menghadapi keadilan. “Dia adalah ikan terbesar,” ujarnya tentang Jammeh. Putusan terhadap Sonko adalah pelajaran bagi diktator di manapun bahwa mereka akhirnya akan dipertanggungjawabkan, katanya, menambahkan, “Tidak ada tempat di dunia ini untuk bersembunyi.”