Bagaimana Skandal Ujian Mengancam Masa Depan Generasi Muda India

Minggu lalu, di sebuah hari yang sangat panas di Delhi, Kavya Mukhija melakukan perjalanan selama berjam-jam untuk mengikuti ujian penting yang dijalankan oleh pemerintah untuk posisi pengajar tingkat dasar di universitas-universitas India. Perempuan berusia 25 tahun yang bekerja sebagai peneliti lepas dan aktivis disabilitas ini menggunakan kursi roda karena memiliki kondisi bawaan langka berupa sendi kaku dan menemukan pusat ujian sulit diakses. Jalan di luar pusat ujian sedang dikeruk, rampa curam tidak bisa digunakan untuk kursi roda – dan pusat itu sendiri tidak memiliki kursi roda. Jika semua itu belum cukup, saat kembali keesokan harinya setelah menyelesaikan ujian selama empat jam, dengan ibunya yang menjadi pengasuh menunggu di luar dalam panas terik, pihak berwenang membatalkan UGC-NET – begitu nama dari ujian tersebut – yang diikuti oleh lebih dari 900.000 kandidat di lebih dari 300 kota.

Kementerian pendidikan awalnya mengeluarkan pernyataan samar saying bahwa “integritas ujian mungkin telah terganggu.” Sehari kemudian, menteri Dharmendra Pradhan mengakui bahwa kertas soal telah bocor di platform media sosial Telegram dan di “dark net.” “Saya merasa sangat marah. Rasanya sebagai pukulan ganda bagi saya. Saya tidak yakin punya energi untuk menghadapi ujian itu lagi,” kata Kavya kepada saya.

Hampir 1.000km (600 mil) dari sana, di kota Patna, Archit Kumar menghadapi tantangan yang serupa. Pada bulan Mei, pemuda berusia 19 tahun yang bercita-cita menjadi dokter itu mengikuti ujian sarjana yang diikuti oleh 2,4 juta kandidat yang bersaing untuk lebih dari 110.000 kursi di perguruan tinggi kedokteran. Skandal segera terjadi setelah ujian – empat orang ditangkap di negara bagian Bihar karena diduga bocornya kertas soal ujian yang disebut Ujian Masuk Nasional Cum Calon UG (Sarjana), atau ujian NEET-UG.

Ada tuduhan kecurangan yang merajalela, dengan banyak kandidat mendapatkan nilai mencurigakan tinggi. Para calon secara terbuka melaporkan ditelepon oleh tengkulak yang menuntut hingga 3 juta rupee ($35.918; £28.384) untuk kertas soal hanya beberapa jam sebelum ujian. Beberapa bahkan merekam panggilan itu sebagai bukti. Banyak siswa dan orang tua menuntut ujian ulang, dengan banyak petisi diajukan di pengadilan untuk tujuan itu – dan Mahkamah Agung sedang menelaah hal ini. Mr Pradhan memerintahkan penyelidikan dan mengakui “beberapa kesalahan terbatas pada wilayah tertentu” telah terjadi. Dia mengatakan takdir jutaan kandidat tidak akan disandera untuk “beberapa kejadian terisolir.”

Tidak ada yang menghibur Archit. Selama dua tahun terakhir, ia telah mengorbankan kehidupan sosialnya – bahkan menghindari pertemuan dengan teman-temannya – dan belajar hingga 12 jam sehari untuk salah satu ujian terbesar dan paling kompetitif di dunia. Dengan mencapai 620 dari total 720 nilai akhir, ia meraih peringkat India 53.000. “Ini datang seperti kejutan. Ada banyak kegelisahan. Saya punya teman yang mengikuti ujian untuk kelima kalinya tahun ini. Bayangkan kondisinya. Bayangkan jika kami harus mengikuti ujian ulang. Saya sudah melupakan begitu banyak hal,” kata Archit.

Sistem ujian di India dalam kekacauan. Memang, kecurangan dan bocornya soal ujian telah lama meresahkan ujian. Tapi sekarang, ujian besar yang dikelola oleh Badan Pengujian Nasional (NTA) yang dijalani oleh Kavya dan Archit, tampaknya terpengaruh. Dalam sebulan terakhir, dugaan bocornya soal dan pengubahan nilai dalam ujian ini telah mengancam masa depan 3,5 juta calon. Minggu lalu, tiga ujian publik lain yang dijalankan oleh pemerintah entah dibatalkan atau ditunda, mempengaruhi 1,3 juta kandidat lainnya.

“Keadaan semakin buruk. Ada ikatan seperti mafia antara guru, tengkulak, dan pengelola pusat ujian yang menciptakan situasi ini,” kata Maheshwer Peri, seorang pendidik yang telah melacak bocornya soal ujian.

Calon dan orang tua mereka telah protes terhadap skandal ujian [Gambar Getty]

Mr Peri mengatakan tengkulak biasanya menghubungi calon, menuntut pembayaran untuk kertas soal, terkadang bahkan menerima cek bermeterai. Dalam ujian tertulis, mereka membocorkan kertas soal kepada kandidat sebelumnya dan memberikan jawaban yang sudah dipecahkan agar bisa dihafal. Selama ujian online, tengkulak mengumpulkan kredensial digital kandidat untuk mengakses komputer mereka secara remote dan menjawab pertanyaan atas nama mereka.

Keadaan lebih buruk dalam ujian nasional. Kertas soal untuk berbagai ujian rekrutmen pemerintah daerah sering bocor dlm kondisi persaingan sengit bagi pekerjaan di sebuah perekonomian di mana sebagian besar posisi kerja cenderung informal, tak pasti, dan rendah gaji.

Ujian rekrutmen untuk polisi, petugas kehutanan, insinyur, dokter hewan dan inspektur pajak penghasilan telah terpengaruh oleh bocornya soal dalam masa lalu. Kertas soal telah bocor di WhatsApp, dan dicuri dari gudang. Para pelaku bahkan telah meretas server dari perusahaan swasta yang menangani ujian. Pada tahun 2022, polisi Delhi membongkar sindikat kecurangan online besar, membantu calon untuk menipu dalam ujian top. Mereka telah menyewa peretas Rusia untuk mengembangkan perangkat lunak yang tidak terdeteksi, memungkinkan mereka meretas komputer jarak jauh di pusat ujian.

Earlier this year The Indian Express newspaper investigated an astonishing 41 documented instances of paper leaks in recruitment exams over the past five years across 15 states, led by governments of different parties.

Opposition parties have protested against paper leaks – they have become a hot-button political issue [Getty Images]

It found that the leaks had affected schedules for some 14 million applicants vying for just over 100,000 posts. Things have been so bad that paper leaks became a hot-button issue in states like Gujarat, Uttar Pradesh, Madhya Pradesh, Rajasthan and Telangana during recent elections. Most are now ruled by PM Narendra Modi’s Bharatiya Janata Party.

In 2015, the most audacious exam cheating scandal rocked Vyapam, a government office in Madhya Pradesh overseeing more than 50 exams for government jobs and local medical colleges.

Question papers were leaked, answer sheets rigged, impersonators – themselves bright, young students – were hired to sit for candidates and seats were sold to the highest bidder. Complicit teachers filled incomplete sheets, boosting grades.

“We have created an education system which encourages such fraud,” says Mr Peri.

For one, there is a yawning gap between demand from students and supply of seats, coupled with concerns over affordability.

Private school and tuition teachers were arrested in Delhi for leaking high school exam papers in Delhi in 2018 [Getty Images]

The fact that 2.4 million students competed for just 110,000 medical college seats this year underlines the immense pressure and fierce competition. Of these some 55,000-60,000 seats are in government-run colleges, with the remainder in private institutions. Half of these seats are reserved for underprivileged students.

Students prefer government colleges due to their affordability – a five-year MBBS course in a government college costs between 500,000 and 1m rupees, whereas private colleges can charge up to 10 times more.

Many believe India’s jobs crisis is largely to blame for this. “This is largely a skills crisis,” economist Karthik Muralidharan notes in his new book, Accelerating India’s Development. “Millions of educated youth are unemployed, yet employers struggle to find adequately skilled manpower.”

The education system’s emphasis on passing exams through cramming leaves many students lacking understanding of subjects and practical skills valued by employers. India’s young would be better served through improving skilling and vocational education, Mr Muralidharan says. He also emphasises the need for exam system reforms to not only capture students’ marks and rankings, but also their skills and knowledge.

Aspirants undergo a security check before entering the medical college exam centre [Getty Images]

For the moment, the government has promised a rigorous probe into the latest scandals and Mr Pradhan, the minister, has taken “moral responsibility” for the loss of faith among students.

Much more needs to be done. It’s unclear if a new anti-cheating law for government jobs and college entrance exams has been a deterrent. Mr Peri questions why authorities don’t conduct basic “hygiene” checks during the compilation of exam results. He suggests that authorities should investigate any irregularities if, say, six top scorers are from one exam centre or students who performed poorly in high school top an undergraduate exam.

“That would be a basic, good start,” he says.

The students don’t appear to be hopeful though.

“We are losing faith in our exam system,” says Archit. “We just don’t understand what is going on.”