Burundi telah menutup perbatasannya dengan Rwanda setelah menuduh tetangganya mendanai serangan pemberontak.
Desember lalu, Red Tabara, kelompok pemberontak Burundi, membunuh 20 orang di dekat perbatasan dengan Republik Demokratik Kongo (RDC).
Presiden Rwanda Paul Kagame membantah tuduhan tersebut, tetapi pemerintah Burundi menyebutnya sebagai “tetangga yang buruk”.
“Kami telah memutuskan hubungan dengannya sampai dia berubah,” kata Menteri Dalam Negeri Burundi Martin Niteretse.
Presiden Burundi Évariste Ndayishimiye membuat tuduhan tersebut pada bulan Desember setelah serangan tersebut.
Pemerintah Rwanda menanggapi bahwa mereka “menyesalkan penutupan perbatasan secara sepihak oleh Burundi,” menurut AFP.
Mereka mengatakan penutupan perbatasan tersebut merupakan “keputusan yang disayangkan” yang melanggar prinsip kerjasama regional dan integrasi Komunitas Afrika Timur.
Red Tabara mengaku melakukan serangan Desember tersebut, tetapi mengatakan mereka hanya membunuh sembilan tentara dan satu polisi.
Grup tersebut beroperasi dari provinsi South Kivu, Kongo yang berbatasan dengan Burundi.
Tidak langsung jelas apakah penutupan perbatasan termasuk perlintasan darat maupun udara.
Pada tahun 2015, Burundi menutup perbatasan ke Rwanda karena ketegangan politik dan kemudian karena Covid-19. Enam tahun kemudian, perbatasan dibuka kembali.
Selama itu, hanya perlintasan darat yang diizinkan. Namun maskapai penerbangan RwandAir tidak pernah menghentikan penerbangan komersialnya ke Burundi.
Hubungan antara Rwanda dan Burundi telah tegang meskipun memiliki bahasa, komposisi etnis, dan sejarah kolonial yang serupa.