Kemakmuran Singapura telah lama membuatnya berbeda dari banyak jajahan Inggris lainnya. Ada perbedaan lain juga: Singapura terus menghormati penguasa kolonialnya sebelumnya — dan mereka ingin terus melakukannya.
Pujian khusus diberikan kepada Sir Thomas Stamford Raffles, yang dianggap sebagai pendiri Singapura modern pada awal abad ke-19. Selama beberapa dekade, buku teks Singapura mengkreditkan Raffles dengan mengubah pulau itu dari “desa nelayan yang sepi” menjadi pelabuhan sibuk. Dia telah menjadi tokoh sentral dalam narasi resmi yang mengatakan bahwa Inggris imperial telah menyiapkan Singapura untuk menjadi negara merdeka.
Penghormatan untuk Raffles menghiasi lanskap Singapura. Distrik bisnis, sekolah, dan puluhan bangunan lainnya memakai namanya. Dua patung setinggi delapan kaki dari pria tersebut menjulang tinggi di pusat kota Singapura.
Namun, patung baru Raffles, yang dipasang di sebuah taman pada bulan Mei, telah membangkitkan debat tentang warisan kolonialisme di Singapura. Di satu sisi, adalah kaum yang lebih luas, yang telah memandang positif pemerintahan kolonial Inggris. Di sisi lain ada mereka yang ingin melakukan inspeksi lebih dekat terhadap kekaisaran yang diwakili oleh Raffles dan ketidaksetaraan rasial yang ditinggalkannya, meski Singapura menjadi kaya.
Pembagian ini telah muncul sebelumnya, mungkin yang paling menonjol beberapa tahun lalu ketika Singapura merayakan peringatan kedatangan Raffles di pulau itu. Sekarang, patung baru itu telah memicu debat baru, dengan para kritikus menunjukkan bahwa negara-negara lain selama bertahun-tahun telah menurunkan monumen bagi tokoh-tokoh sejarah yang terkait dengan perbudakan atau imperialisme, atau keduanya.