Ritual syukuran kuno festival Yadnya Kasada telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Tengger di Indonesia selama berabad-abad. Hari ini, cuaca yang semakin tidak terduga telah membuat pencarian berkat ilahi semakin vital bagi komunitas pertanian Hindu ini. Masyarakat Tengger tinggal di puluhan desa di taman nasional di Gunung Bromo, salah satu gunung berapi aktif di Indonesia. Taman ini populer di kalangan wisatawan, terletak dekat dengan kota Probolinggo di Jawa Timur, sekitar 800km selatan ibu kota, Jakarta. Komunitas ini telah mengadakan festival sejak masa Kekaisaran Majapahit abad ke-13 untuk mengekspresikan pengabdian dan rasa terima kasih mereka kepada leluhur dan para dewa. Menggendong barang-barang yang meliputi sayuran, buah-buahan, serta kambing dan ternak lainnya, ribuan Tenggerese mendaki ke puncak Gunung Bromo setinggi 2.329m, mengakhiri ritual mereka dengan melemparkan persembahan ke dalam kawah. Selama festival minggu ini, banyak pengikut mengatakan mereka berharap itu akan membantu meningkatkan penghidupan mereka. “Kami berdoa agar tanah subur untuk tahun mendatang, agar tanaman tumbuh sehat,” kata Asih, seorang petani 64 tahun di desa Ngadirejo dekat Gunung Bromo, yang seperti banyak orang Indonesia, hanya menggunakan satu nama. Asih mengatakan dulu ia bisa panen kubisnya tiga kali setahun, tetapi karena hujan yang jarang, sekarang ia hanya bisa mengelola satu kali panen. “Ketika tidak ada hujan lagi, kita tidak bisa menanam siklus tanaman lain,” kata Asih. “Sekarang mereka kekeringan seperti ini,” katanya, menunjuk sayuran layu. “Saat mereka kering, akar tidak akan tumbuh lagi.” Tahun lalu, sekitar dua pertiga wilayah Indonesia – termasuk seluruh Jawa – mengalami musim kemarau paling parah sejak 2019 karena fenomena cuaca El Nino berlangsung lebih lama dari biasanya dan menyebabkan kekeringan yang merugikan tanaman dan memperburuk kebakaran hutan. Meski para meteorolog memperkirakan akan lebih banyak hujan tahun ini, banyak petani masih kesulitan. Petani di Gunung Bromo mengandalkan hujan dan danau beririgasi hujan untuk irigasi tetapi cuaca yang lebih kering telah memaksa Irawan Karyoto, 56 tahun, menanam bawang daun yang kurang menguntungkan daripada kentang di lahan dua hektar miliknya. Baik Asih maupun Irawan adalah bagian dari prosesi Tenggerese yang menawarkan doa di kuil di kaki gunung berapi. Asih juga membawa cucu perempuannya yang berusia lima tahun. “Untuk merespons apa yang telah disampaikan Allah melalui alam, orang harus beradaptasi dan jangan lupa untuk berdoa,” kata Suyitno, seorang pemimpin rohani Tenggerese.