Pada suatu sore Sabtu yang hujan di pusat kota Tokyo, sekitar 50 orang orang Tionghoa berkumpul di sebuah kantor abu-abu yang tidak mencolok yang juga berfungsi sebagai toko buku. Mereka datang untuk mengikuti seminar tentang Qiu Jin, seorang penyair feminis dan revolusioner Tiongkok yang lebih dari seabad yang lalu dipancung karena berkomplot untuk menggulingkan dinasti Qing. Sepertinya, Nyonya Qiu juga pernah tinggal sebagai imigran di Jepang. Judul acara tersebut, “Membangun Kembali Tiongkok di Tokyo,” mengungkapkan aspirasi para peserta seminar juga mengenai kehidupan Nyonya Qiu.
Perdebatan publik seperti yang satu ini dulunya biasanya terjadi di kota-kota besar di Tiongkok, tetapi sudah semakin ditekan dalam satu dekade belakangan. Masyarakat Tiongkok ini mendapat peringatan untuk tidak mengorganisir dan berpartisipasi dalam kegiatan sipil.
Dalam setahun terakhir, telah muncul kehidupan masyarakat Tionghoa yang baru – di luar batas negara Tiongkok di tempat-tempat seperti Jepang. “Dengan begitu banyak orang Tiongkok yang pindah ke Jepang,” kata Li Jinxing, seorang pengacara hak asasi manusia yang mengorganisir acara ini pada bulan Januari, “ada kebutuhan akan tempat dimana orang bisa menyuarakan keluh kesah mereka, lalu memikirkan langkah selanjutnya.” Mr. Li sendiri pindah ke Tokyo dari Beijing bulan September lalu karena khawatir akan keselamatannya. “Orang-orang seperti kita memiliki misi untuk mendukung transformasi Tiongkok,” katanya.
Dari Tokyo dan Chiang Mai, Thailand, hingga Amsterdam dan New York, anggota diaspora Tionghoa sedang membangun kehidupan publik yang dilarang di Tiongkok dan melatih diri mereka untuk menjadi warga negara berhati nurani – jenis warga Tiongkok yang Partai Komunis tidak ingin mereka jadi. Mereka membuka toko-toko buku Tiongkok, menyelenggarakan seminar dan mengorganisir kelompok masyarakat.
Para imigran ini sedang menciptakan Tiongkok alternatif, sebuah masyarakat yang lebih berharap. Dalam prosesnya, mereka sedang mendefinisikan apa artinya menjadi warga negara Tionghoa.
Empat toko buku Tiongkok dibuka di Tokyo tahun lalu. Sebuah acara komedi terbuka bulanan feminis yang dimulai di New York tahun 2022 sangat sukses sehingga feminis di setidaknya empat kota lain di Amerika Serikat, juga di London, Amsterdam, dan Vancouver, British Columbia, sedang menyelenggarakan acara serupa. Imigran-imigran Tionghoa di Eropa juga mendirikan puluhan organisasi nirlaba yang fokus pada isu-isu L.G.B.T.Q., protes, dan isu lainnya.
Sebagian besar dari acara dan organisasi ini tidak secara terang-terangan politis atau bertujuan untuk mencoba menggulingkan pemerintah Tiongkok, meskipun beberapa pesertanya berharap bahwa mereka akan bisa kembali ke Tiongkok demokratis suatu hari nanti. Tetapi para imigran yang mengorganisir itu mengatakan bahwa mereka percaya penting untuk belajar hidup tanpa rasa takut, untuk saling percaya satu sama lain dan mengejar kehidupan yang bermakna.
Terlalu banyak orang Tionghoa, bahkan setelah pindah, selama bertahun-tahun terlalu takut akan pemerintah untuk menghadiri acara umum yang tidak sejalan dengan retorika Partai Komunis.
Tetapi pada tahun 2022, protes White Paper yang pecah di Tiongkok untuk menentang pembatasan pandemi negara itu memicu demonstrasi di negara-negara lain. Orang-orang menyadari bahwa mereka tidak sendirian dan mulai mencari orang lain yang sama pemikirannya.
Yilimai, seorang profesional muda yang telah tinggal di Jepang selama satu dekade, mengatakan bahwa sejak protes tahun 2022 dia telah mengorganisir dan berpartisipasi dalam unjuk rasa dan seminar di Tokyo.
Pada bulan Juni lalu, dia datang ke acara diskusi yang saya adakan tentang podcast bahasa Tionghoa saya, “I Don’t Understand”, dan kaget menemukan bahwa dia adalah salah satu dari sekitar 300 orang yang hadir. (Saya juga kaget. Siapa yang ingin mendengarkan seorang jurnalis berbicara tentang podcastnya?) Dia mengatakan bahwa dia telah bertemu dan tetap terhubung dengan sekitar belasan orang di acara tersebut.
“Terlibat dalam kehidupan publik adalah suatu kebajikan,” kata Yilimai, yang menggunakan nama samaran online karena takut akan balasan dari pemerintah. Namanya berarti “sebutir gandum,” rujukan dari Alkitab mengenai kebangkitan.
Tiongkok dulunya memiliki, pada tahun 2000an dan awal 2010an, apa yang filsuf Jerman Jürgen Habermas sebut sebagai ruang publik. Otoritas membiarkan ruang bagi percakapan publik yang hidup, meskipun disensor, seiring dengan kehidupan budaya dan sosial yang disetujui negara.
Di toko-toko buku di kota-kota besar di Tiongkok, buku “Demokrasi di Amerika” oleh Alexis de Tocqueville dan “Jalan menuju Takdir” oleh Friedrich Hayek menjadi buku terlaris. Kelompok studi buku di Beijing yang dimulai oleh Ren Zhiqiang, seorang tycoon properti, menarik pemilik usaha teratas, intelektual, dan pejabat teratas Tiongkok. Shanghai Pride, perayaan tahunan hak L.G.B.T.Q., menarik ribuan peserta. Aktivis feminis menggelar kampanye seperti “occupy toilet pria,” dan media resmi meliput mereka sebagai kekuatan progresif. Film independen, dokumen, dan majalah bawah tanah mengeksplor topik-topik yang tidak disukai tetapi dibiarkan oleh Partai Komunis: sejarah, seksualitas, dan ketimpangan.
Namun, dalam satu dekade setelah Xi Jinping mengambil alih kepemimpinan negara pada akhir 2012, semua inisiatif ini ditindas. Jurnalis investigatif kehilangan media untuk karyanya, pengacara hak asasi manusia dipenjarakan atau dicabut lisensinya, dan toko-toko buku dipaksa menutup pintunya. Ren Zhiqiang, tycoon properti yang mulai kelompok studi buku, menjalani hukuman 18 tahun penjara karena mengkritik Mr. Xi. Penyelenggara organisasi nirlaba dan aktivis L.G.B.T.Q. dan feminis diintimidasi, disensor, atau dipaksa ke pengasingan.
Sebagai balasannya, jumlah imigran Tiongkok yang melarikan diri dari negara mereka, pemerintah, dan propaganda ke tempat-tempat yang membiarkan mereka merdeka. Sekarang mereka dapat terhubung satu sama lain dan memberi panggung bagi Tionghoa di dalam maupun di luar negara untuk berkomunikasi dan membayangkan masa depan yang berbeda.
Anne Jieping Zhang, seorang jurnalis berkebangsaan Tionghoa yang telah bekerja di Hong Kong selama dua dekade sebelum pindah ke Taiwan saat pandemi, membuka sebuah toko buku di Taipei pada tahun 2022. Dia membuka cabangnya di Chiang Mai, Thailand, pada Desember lalu dan berencana membuka cabang di Tokyo dan Amsterdam tahun ini.
“Saya ingin toko bukuku menjadi tempat di mana Tionghoa di seluruh dunia bisa datang dan bertukar gagasan,” kata Nyonya Zhang.
Toko bukunya, yang bernama Nowhere, menerbitkan paspor Republik Nowhere kepada pelanggannya yang bernama warga negaranya, bukan anggota.
Cabang Taipei Nowhere mengadakan 138 acara tahun lalu. Cabang Chiang Mai mengadakan sekitar 20 acara dalam enam minggu pertamanya. Temanya bervariasi: perang, feminisme, protes Hong Kong, dan kota dan hubungan. Saya berbicara di kedua cabang tersebut tentang podcast saya.
Nyonya Zhang mengatakan bahwa dia tidak ingin toko bukunya hanya untuk para pendissiden dan pemberontak muda, tetapi untuk siapapun orang Tionghoa yang penasaran tentang dunia.
“Yang penting bukanlah apa yang Anda tolak, tetapi seperti apa kehidupan yang Anda dambakan,” katanya. “Jika Tionghoa atau diaspora Tionghoa tidak bisa membangun kembali masyarakat di tempat-tempat tanpa pembatasan dari atas ke bawah, bahkan jika kita mendapat perubahan rezim, kita pasti tidak akan bisa memimpin kehidupan yang lebih baik.”
Nyonya Zhang dan Mr. Li, pengacara hak asasia manusia yang lebih dikenal dengan nama pena nya, Wu Ley, mengatakan bahwa para imigran Tionghoa sekarang sangat berbeda dengan pendahulu mereka pada tahun 1980an, yang kebanyakan adalah imigran ekonomi. Imigran-imigran baru ini lebih sejahtera dan lebih terdidik. Mereka peduli terhadap kesejahteraan ekonominya serta rasa memiliki dalam hal yang lebih besar daripada diri mereka sendiri.
Baik Nyonya Zhang maupun Mr. Li memulai usaha mereka dengan uang mereka sendiri. Sewa bulanan untuk ruang kurang lebih 700 kaki persegi milik Mr. Li, yang terutama digunakan untuk acara, sekitar $1,300. Dia mengatakan bahwa dia mampu membayar itu.
Nyonya Zhang, yang saat ini adalah seorang fellow Nieman di Harvard Kennedy School, mensubsidi cabang Chiang Mai dengan tabungannya. Cabang Taipei membuat keuntungan tahun lalu. Sumber pendapatan yang berkembang adalah pengiriman buku ke Tionghoa di seluruh dunia.
Pada hari yang sama di bulan Januari saat seminar di toko buku Mr. Li di Tokyo, delapan pemuda Tionghoa duduk di sekeliling meja makan di rumah seorang profesor Jepang untuk mendiskusikan pemilu Taiwan yang telah diadakan pada akhir pekan sebelumnya. Mereka sudah bertemu di acara publik maupun acara privat sejak tahun lalu.
“Kita sedang mempersiapkan diri untuk demokratisasi Tiongkok,” kata Umi, seorang mahasiswa yang pindah ke Jepang pada tahun 2022 dan berpartisipasi dalam protes White Paper. “Kita perlu bertanya pada diri sendiri,” katanya, “Jika Partai Komunis Tiongkok runtuh besok, apakah kita siap menjadi warga negara yang baik?”