Sejak awal pembangunan negara di Venezuela, pemain politik di negara itu selalu mencari cara untuk memanipulasi undang-undang agar bisa mencapai kekuasaan mutlak. Presiden Venezuela sekarang, Nicolas Maduro, adalah contoh yang bagus dalam hal ini. Sejak pemilihan Juli 28 yang kontroversial yang diprotes habis-habisan oleh oposisi politik, pengamat pemilu independen, dan sejumlah pemimpin global, Maduro langsung mengklaim kemenangan dan menjanjikan akan menyerahkan diri kepada hukum.
Di Amerika Latin, kasus serupa juga terjadi di banyak negara. Berbagai penguasa yang dipilih di negara seperti Meksiko, Nikaragua, Peru, Bolivia, dan El Salvador, juga melakukan langkah-langkah yang bertentangan dengan konstitusi mereka. Semua demi memperkuat kekuasaan mereka atas institusi-institusi pemerintahan lainnya.
Dalam upaya merestrukturisasi institusi hukum, beberapa pimpinan negara bahkan sampai melakukan reformasi drastis. Sebagai contoh, Presiden El Salvador, Nayib Bukele, dengan paksa pensiunkan sepertiga dari hakim-hakim di negaranya untuk membuka jalan agar dia bisa mengikuti kembali pemilihan presiden yang sudah diatur konstitusi.
Kita juga melihat negara-negara yang memanggil diri mereka demokratis, seperti Brasil dan Meksiko, turut menyusut dalam indeks demokrasi global. Contoh seperti itu menjadi peringatan bagi Amerika Serikat yang mungkin juga berpotensi mengalami krisis demokrasi yang serupa jika tidak hati-hati dalam menyikapi reformasi struktur kekuasaan di negara mereka.