Catatan Editor: Justin Lynch adalah peneliti dan analis di Washington, DC. Dia adalah co-penulis buku “Demokrasi Sudan yang Belum Selesai.” Pendapat yang ada di sini adalah miliknya sendiri. Baca lebih banyak pendapat di CNN.
CNN
—
Empat tahun lalu, hampir tepat pada hari ini, rakyat Sudan sedang merayakan revolusi setelah berhasil menjatuhkan diktator lama Omar al-Bashir. Sekarang negara di Afrika Timur itu menghadapi kemungkinan runtuh sepenuhnya seperti kekacauan yang kita lihat hari ini di Yaman atau Libya.
Pada Sabtu, faksi militer saingan mulai bertempur satu sama lain di ibu kota Khartoum. Kedua belah pihak bertempur untuk menguasai bandara, pangkalan, dan kompound militer negara. Kekerasan dengan cepat meluas ke jalanan dan seluruh negeri.
Sekitar 45 juta warga Sudan efektif ditawan dan tak bisa keluar dari rumah mereka karena takut terbunuh dalam pertikaian. Setidaknya 180 orang tewas dalam bentrokan tersebut, termasuk tiga pekerja kemanusiaan Program Pangan Dunia.
Konflik ini melibatkan dua rival pahit dan pasukan bersenjata kuat mereka. Di satu sisi adalah Pasukan Bersenjata Sudan (SAF), dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah al-Burhan. Di sisi lain adalah Pasukan Pendukung Cepat (RSF), sebuah kelompok paramiliter dipimpin Mohamed Hamdan Dagalo, yang dikenal sebagai Hemeti.
Tidak ada pihak yang baik dalam konflik ini. Kedua belah pihak telah dituduh melakukan serangkaian pelanggaran hak asasi manusia yang panjang.
Bagaimana Sudan bisa beralih dari melepaskan pemerintahan despotik dan menciptakan demokrasi yang masih muda beberapa tahun lalu menjadi menghampiri ambang keruntuhan negara?