Dengan memanfaatkan kekuatan politik mereka, anggota diaspora Venezuela, seperti Arellano, berharap dapat membuat perbedaan dari negara tuan rumah mereka di Amerika Latin, di mana sebagian besar diaspora tersebut berkumpul.
Pimpinan negara di wilayah tersebut sedang memimpin negosiasi dengan pemerintahan Maduro.
Kolombia dan Brasil, sekutu pemerintah Maduro, telah mengambil langkah untuk mencari solusi atas perselisihan pemilu. Mereka tidak mengakui baik Maduro maupun Gonzalez sebagai pemenang pemilu dan malah meminta pemerintah untuk melepaskan kertas suara.
“Apa pun kehendak rakyat Venezuela, Kolombia akan menghormatinya,” kata Presiden Kolombia Gustavo Petro kepada surat kabar Le Monde. “Ini adalah saat yang sensitif, dan semua pihak harus siap mengelolanya dengan damai.”
Dalam peran mereka sebagai mediator, para pemimpin kedua negara itu juga mengusulkan solusi mereka sendiri untuk mengatasi kekhawatiran dari kedua belah pihak.
Misalnya, pada 15 Agustus, Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva mengusulkan untuk mengadakan pemilu baru di Venezuela.
Pada hari yang sama, Presiden Petro mengusulkan ide penyelanggaraan kekuasaan antara pemerintahan Maduro dan oposisi.
Namun, kedua ide tersebut segera ditolak oleh anggota oposisi di dalam dan di luar Venezuela.
Kedua negara tersebut juga bereaksi dengan pernyataan bersama pekan lalu ketika Mahkamah Agung Venezuela memberikan keputusan mendukung klaim kemenangan Maduro tanpa memberikan bukti untuk mendukungnya.
Kolombia dan Brasil kembali menegaskan panggilan mereka kepada pemerintahan Maduro untuk melepaskan hasil penghitungan suara – tetapi mereka juga menuntut penghentian sanksi internasional terhadap Venezuela, yang merupakan tekanan terhadap ekonomi negara tersebut.
Sementara itu, pemerintah Peru, Ekuador, Kosta Rika, Argentina, Uruguay, dan Panama telah mengakui Gonzalez sebagai presiden terpilih Venezuela – sebuah sikap yang diharapkan pendukung diaspora akan diadopsi lebih banyak pemimpin dunia menjelang pelantikan pada bulan Januari.
Di lembaga legislatif di Meksiko, Brasil, Kolombia, Argentina, Chile, dan negara-negara Amerika Latin lainnya, aktivis Venezuela – banyak di antaranya adalah pemimpin politik dalam pengasingan – juga duduk bersama rekan-rekan legislatif mereka dengan harapan dapat membentuk kebijakan.
“Jika kita adalah demokrat, maka demokrasi harus berdiri di atas aliansi politik dan visi- visi ideologis kita,” kata William Clavija, seorang migrant berusia 34 tahun dan presiden Venezuela Global, sebuah organisasi kemanusiaan berbasis Brasil yang telah memperjuangkan transparansi pemilu.