Sementara Kerugian Gaza Bertambah akibat Serangan Israel, Pemakaman yang Layak Menjadi Korban Lainnya

Saat ini sudah 13 minggu sejak perang Israel di Gaza dimulai setelah serangan Hamas ke Israel yang menewaskan sekitar 1.200 orang, menurut pejabat Israel. Sejak itu, penduduk Gaza terpaksa mengubur orang-orang terdekat mereka dengan cepat dan tanpa upacara atau ritual terakhir, karena takut akan nasib yang sama seperti kerabat mereka.

Lebih dari 22.000 warga Palestina telah tewas oleh Israel sejak 7 Oktober, menurut Kementerian Kesehatan Gaza. Warga sipil terus terbunuh dengan kecepatan yang jarang terjadi sepanjang abad ini. Pasukan Israel telah mengubah Gaza menjadi “kuburan untuk ribuan anak-anak,” demikian menurut PBB.

Kebijakan tersebut telah membuat tradisi pemakaman publik menjadi tidak mungkin untuk dijalankan. Tubuh-tubuh orang mati telah dimakamkan massal, di halaman rumah sakit, dan di halaman belakang, seringkali tanpa batu nisan, dengan nama mereka tertulis di kain kafan putih atau kantong jenazah. Doa pemakaman diucapkan dengan cepat, jika diucapkan sama sekali, di lorong-lorong rumah sakit atau di luar ruang mayat.

Sementara itu, petugas medis telah mengatakan bahwa mereka terkadang harus menggali kuburan di halaman rumah sakit. Ketika anggota staf terpaksa dievakuasi oleh militer Israel, mereka mengatakan bahwa mereka harus meninggalkan banyak jenazah di belakang.

Sementara itu, beberapa keluarga terjebak di dalam rumah mereka selama beberapa hari dengan jenazah orang yang mereka sayangi. Pejabat kesehatan Gaza memperkirakan sekitar 7.000 orang di Gaza tengah hilang, kebanyakan diduga tewas dalam kehancuran besar akibat serangan Israel.

Situasi tersebut membuat sebagian besar penduduk merasa tertekan karena tidak memiliki ruang yang layak untuk mengubur orang yang mereka cintai. Hal ini mengarah pada praktik penguburan sementara yang seringkali meninggalkan keluarga dengan pertanyaan kemanusiaan yang tidak terjawab.

Situasi ini juga semakin memperburuk kondisi kemanusiaan para pengungsi, anak-anak Gaza, dan para korban serangan militer Israel. Homogenitas penduduk Gaza terus menyusut seiring dengan meningkatnya jumlah pengungsi yang mencari perlindungan di negara-negara tetangganya.

Dengan demikian, warga Gaza yang menjadi korban kekerasan dan ketidakstabilan politik di wilayah itu pada akhirnya merasa terjebak di antara pemakaman sementara yang tidak manusiawi, evakuasi paksa, dan kehidupan sehari-hari yang semakin sulit. Keadaan ini semakin memperparah kondisi psikologis mereka, dan menimbulkan dampak jangka panjang bagi masyarakat Gaza.