RAFAH, Jalur Gaza (AP) – Ibrahim Hasouna melangkah di antara puing-puing rumah yang hancur, menunjukkan di mana momen-momen keluarga telah terjadi – di mana ibu dan menantunya dulu tidur, di mana ia bermain dengan keponakan perempuannya berusia 5 tahun, di mana ia membantu keponakannya berusia 1 tahun melangkah untuk pertama kalinya.
Seluruh keluarganya kini telah meninggal – orang tuanya, kedua saudaranya, dan istri serta tiga anak dari salah satu saudaranya itu. Rumah mereka dihancurkan menjadi puing-puing saat serangan udara pesawat tempur Israel melanda Rafah menjelang fajar Senin lalu sebagai bentuk penyamaran untuk pasukan yang menyelamatkan dua sandera di tempat lain di kota itu di perbatasan selatan Gaza.
Paling tidak 74 orang Palestina tewas dalam bombardemen, yang meratakan bangunan-bangunan besar dan tenda-tenda tempat keluarga yang melarikan diri dari seluruh Gaza berlindung di Rafah.
Di antara yang tewas adalah 27 anak-anak dan 22 perempuan, menurut Palestinian Center for Human Rights, yang penelitinya menyusun daftar itu dari rumah sakit di Rafah. Serangan Israel telah memberikan dampak besar pada perempuan dan anak-anak, dengan lebih dari 12.300 anak-anak Palestina dan remaja muda tewas dalam konflik tersebut, kata Kementerian Kesehatan Gaza Senin lalu.
Ibrahim, yang berusia 30 tahun, orang tuanya, dan saudaranya tiba di Rafah sebulan sebelumnya, saat ke pindahan mereka untuk menghindari pertempuran di utara Gaza. Mereka menyewa sebuah rumah kecil satu lantai di sisi timur Rafah.
“Saya dekat dengan mereka,” ujar Ibrahim tentang anak-anak saudaranya. Di rumah, dia akan bermain kartu atau bermain petak umpet dengan mereka untuk mengalihkan perhatian mereka dari perang, katanya. Gadis kembar, Suzan dan Sedra, sering bertanya apakah mereka akan pergi ke taman kanak-kanak dan apakah gurunya di taman kanak-kanak di kampung halaman mereka masih hidup atau sudah mati, katanya.
Serangan itu datang di saat kebahagiaan. Keluarga itu baru saja mendapatkan tiga ekor ayam – yang pertama kali mereka makan sejak perang dimulai lebih dari empat bulan lalu.
“Anak-anak senang,” kata Ibrahim. Keluarga itu sudah muak dengan makanan kalengan, yang merupakan satu-satunya yang bisa mereka dapatkan dalam pengepungan Israel yang hanya memperbolehkan bantuan kemanusiaan secuil ke Gaza.
Mereka berencana makan ayam itu Minggu malam. Tapi dalam hari itu, Ibrahim pergi untuk mengunjungi seorang teman di sisi lain Rafah, yang meyakinkannya untuk menginap semalam. Ibrahim menelepon ke rumah, dan mereka memutuskan untuk menunda makan malam yang sangat dinanti-dinanti itu agar dia tidak melewatinya. Ibunya, Suzan, menyimpan ayam-ayam itu di kulkas tetangga.
Merasa kebingungan, Ibrahim mulai mendapatkan telepon dari teman yang memberitahunya bahwa serangan telah terjadi di lingkungan di mana keluarganya tinggal. Tidak bisa menghubungi mereka, dia berjalan dan naik motor kembali ke rumah. Dia menemukan kehancuran yang besar, katanya.
Hal pertama yang dia lihat adalah lengan seorang perempuan yang terlempar ke seberang jalan di depan masjid tetangga. Itu lengan ibunya. Dia menggali puing-puing, menarik bagian tubuh mereka keluar.
Kemudian dia pergi ke Rumah Sakit Youssef Najjar dan mengidentifikasi jenazah ibu dan ayahnya, Fawzi, seorang insinyur. Tubuh saudaranya, Mohammed, tidak memiliki kepala, tapi dia mengenali pakaiannya.
Dalam sebuah kantong yang dibawakan staf kepadanya adalah bagian-bagian dari kakaknya Karam dan keluarganya. Dia mengenali potongan-potongan keponakannya, Suzan dari anting-antingnya dan gelang, salah satu gelang yang selalu diperebutkan olehnya dan saudarinya, kata Ibrahim.
Ia bercerita kepada Associated Press pada hari Selasa saat ia berjalan-jalan di tengah puing rumah. Ia mengenang bagaimana suara anak-anak itu di pagi hari akan membangunkannya, tetapi “suara mereka sangat menenangkan bagi saya.”
Ia menunjuk ke puing-puing. Di sana, katanya ia akan duduk dengan keponakannya, Malek “untuk menikmati sinar matahari dan sedikit berjalan-jalan bersamanya. Untuk sedikit berjalan dan merasakan hidup.”
Israel mengatakan bombardir itu untuk melindungi pasukannya saat mereka mengevakuasi dua sandera Israel dari sebuah apartemen dan memulai perjalanan mereka keluar dari Gaza. Militer belum memberikan komentar mengapa situs spesifik di Rafah menjadi target dalam serangan itu, namun pejabat Israel menyalahkan Hamas atas korban sipil dengan beroperasinya di tempat-tempat pusat perkotaan.
Luasnya darah yang tumpah dari serangan itu telah meningkatkan kekhawatiran atas apa yang mungkin terjadi jika Israel melaksanakan ancamannya untuk menyerang Rafah dalam kampanyenya untuk menghancurkan Hamas. Kota tersebut dan sekitarnya kini menjadi tempat tinggal lebih dari setengah dari seluruh populasi wilayah Gaza yang berjumlah 2,3 juta setelah ratusan ribu mengungsi kesana.
Hingga kini, kampanye Israel di Gaza telah menewaskan lebih 28.000 warga Palestina, lebih dari 70% di antaranya adalah perempuan dan anak-anak, menurut Kementerian Kesehatan Gaza. Jumlah itu tidak membedakan antara warga sipil dan pejuang.
Israel telah bersumpah untuk mencabut Hamas dari Gaza dan memenangkan pembebasan lebih dari 100 sandera yang masih di tangan kelompok itu setelah serangan 7 Oktober di mana militan menewaskan sekitar 1.200 orang, kebanyakan warga sipil.