Tingkat kesuburan Korea Selatan turun selama 4 tahun berturut-turut, memecahkan rekor dunia sebagai yang terendah

Angka kelahiran di Korea Selatan mencetak rekor terendah dunia setelah turun untuk tahun keempat berturut-turut. Pada hari Rabu, Badan Statistik Korea melaporkan penurunan 8% dalam angka kelahiran negara pada tahun 2023 dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pakar peringatkan bahwa tren ini bisa mengakibatkan penurunan signifikan dalam jumlah penduduk negara tersebut, yang saat ini mencapai 51 juta jiwa, dan potensial turun setengahnya pada tahun 2100.

Rata-rata jumlah bayi yang diharapkan perempuan Korea Selatan sepanjang hidupnya turun dari 0,78 menjadi 0,72 pada tahun 2022. Proyeksi menunjukkan penurunan lebih lanjut menjadi 0,68 pada tahun 2024. Angka-angka ini jauh di bawah ambang batas 2,1 yang diperlukan untuk menjaga keberlangsungan penduduk suatu negara. Penurunan fertilitas terutama mencolok di Seoul, dengan tingkat terendah tercatat di ibu kota sebesar 0,55.

Faktor-faktor dari penurunan ini disebabkan oleh budaya kerja yang menuntut, biaya hidup yang meningkat, perubahan sikap terhadap pernikahan dan kesetaraan gender, serta kekecewaan yang meningkat di kalangan generasi muda. Perempuan, yang khawatir tentang kemajuan karir dan beban keuangan untuk membesarkan anak, memilih menunda kelahiran anak atau bahkan melewatinya. Banyak yang tidak merasa terikat untuk membesarkan anak, dengan alasan biaya mahal di tengah ketidakpastian pasar kerja yang suram, mahalnya tempat tinggal, dan kesenjangan gender dan sosial. Perempuan juga mengatakan bahwa budaya patriarki dalam merawat anak dan diskriminasi di tempat kerja juga ikut berperan.

Mengatasi penurunan ini, saat Korea Selatan mendekati pemilihan umum bulan April, partai politik sedang mengatasi isu kritis penurunan penduduk. Pemerintah berjanji untuk mengimplementasikan “langkah-langkah luar biasa” untuk mengatasi situasi tersebut. Sejak penurunan dimulai, pemerintah telah memperkenalkan berbagai inisiatif, seperti memberikan tunjangan bayi sebesar 1 juta won ($767) sebagai insentif untuk lebih banyak kelahiran, pengasuh bayi asing dan berbiaya rendah, dan cuti ayah yang dibayar diperpanjang. Kampanye sosial juga mendorong pria untuk membantu dalam merawat anak dan pekerjaan rumah.

Baru-baru ini, sebuah perusahaan konstruksi di Korea Selatan juga menawarkan 100 juta won ($75.000) setiap kali anak lahir bagi karyawan mereka sebagai upaya untuk mengatasi tingkat kelahiran yang menurun di negara itu.

Di tengah pengeluaran lebih dari $270 miliar dalam inisiatif sejak 2006, akar penyebab masih bertahan. Budaya kerja keras dan persaingan di tempat kerja yang sengit menghalangi banyak perempuan untuk memiliki anak, memperburuk masalah kesenjangan upah gender, yang merupakan yang terburuk di OECD. Kekhawatiran keuangan juga menghambat pernikahan, yang dianggap sebagai prasyarat untuk memiliki anak.

Masalah serupa juga memengaruhi negara tetangga seperti Tiongkok dan Jepang, yang juga mengalami tingkat kelahiran terendah yang menorehkan rekor dan krisis demografis dengan lebih banyak kematian daripada kelahiran, menyebabkan kekurangan tenaga kerja yang semakin bertambah parah. Tiongkok, yang saat ini menjadi negara dengan populasi terbesar kedua di dunia dengan lebih dari 1,4 miliar penduduk, mungkin akan melihat angka tersebut menyusut menjadi 525 juta pada tahun 2100.

Jepang mencatat rekor terendah dalam jumlah kelahiran untuk tahun kedelapan berturut-turut pada tahun 2023, dengan penurunan 5,1% dalam kelahiran dari tahun sebelumnya, total 758.631. Selain itu, pernikahan juga menurun sebesar 5,9% menjadi 489.281, menandai kali pertama dalam 90 tahun bahwa angka tersebut turun di bawah 500.000.