U Tin Oo, pemimpin oposisi demiokrasi yang berjuang keras di Myanmar, meninggal pada usia 97 tahun.

U Tin Oo, mantan kepala angkatan bersenjata dan menteri pertahanan Burma yang berbalik melawan pemerintah represif negaranya untuk menjadi pemimpin gerakan pro-demokrasi disana, meninggal pada hari Sabtu di Yangon, Myanmar. Beliau berusia 97 tahun.

Asisten pribadinya, U Myint Oo, mengkonfirmasi kematiannya, di sebuah rumah sakit. Dia mengatakan bahwa Bapak Tin Oo memiliki jantung yang lemah dan meninggal akibat gagal ginjal dan edema paru.

Dulu salah satu tokoh paling berkuasa di apa yang sekarang disebut Myanmar, Bapak Tin Oo mendirikan Liga Nasional untuk Demokrasi, partai oposisi utama negara itu, bersama Daw Aung San Suu Kyi selama pemberontakan pro-demokrasi yang gagal dan berdarah pada tahun 1988.

Tiga tahun kemudian, Nyonya Aung San Suu Kyi menerima Hadiah Nobel Perdamaian ketika dalam tahanan rumah. Dia kembali ditahan, dan tidak jelas apakah dia telah diberitahu tentang kematian Bapak Tin Oo.

“Daw Aung San Suu Kyi pasti sangat sedih mendengar berita kepergiannya, karena dia telah kehilangan kepercayaan yang bisa diandalkan,” kata Bapak Myint Oo.

Pada tahun 2013, dia memberitahu The New York Times bahwa Bapak Tin Oo “bagai seorang ayah bagi saya.”

Bapak Tin Oo menjadi wakil ketua dan kemudian ketua partai, yang dikenal sebagai N.L.D., yang memenangkan pemilihan pada tahun 1990 dengan margin yang besar tetapi dicegah mengambil alih kekuasaan oleh rezim militer yang berkuasa.

Segera setelahnya, dia bersama puluhan aktivis pro-demokrasi dan anggota partai lainnya ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara panjang oleh rezim militer.

Dia kemudian menjadi salah satu dari sekelompok mantan perwira militer, yang dikenal sebagai “penatua”, yang memberikan nasihat kepada Nyonya Aung San Suu Kyi selama 15 tahun masa tahanannya.

Setelah pembebasannya dan berdirinya pemerintahan demokratis, yang mengakhiri puluhan tahun pemerintahan militer, Bapak Tin Oo terus bersuara tentang hak asasi manusia dan isu-isu yang berkaitan dengan pembangunan Myanmar.

“Pribadi, saya tahu transisi sulit dan menantang,” katanya dalam pidato di konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2014.

“Saya telah menjadi seorang jenderal, seorang tahanan politik, seorang biksu, seorang mahasiswa hukum, seorang pengacara, dan anggota pendiri partai politik, N.L.D.,” katanya. “Saya harus menghadapi dampak buruk yang saya lakukan pada orang ketika saya berada di angkatan bersenjata. Karena itu, saya telah meminta maaf dan memberikan komitmen saya untuk mendukung hak asasi manusia dan demokrasi.”

“Saya mencintai militer namun saya lebih mencintai rakyat,” katanya kepada The New York Times pada tahun 2020.

Bapak Tin Oo lahir pada tanggal 3 Maret 1927, di kota pelabuhan Pathein, di sepanjang Sungai Pathein di selatan Burma. Dia adalah anak tertua dari enam saudara.

“Ia melayani negaranya sejak berusia 16 tahun, berperang melawan Jepang fasis dan Komunis Tiongkok,” kata U Tun Myint, juru bicara partainya. “Dia menerima gelar tertinggi di militer, gelar Thura.”

Bapak Tin Oo bergabung dengan militer pada tahun 1946 sebagai letnan dua dan naik pangkat menjadi komandan batalyon pada tahun 1951.

Dia dihormati karena memimpin kampanye melawan Persatuan Nasional Karen dan kelompok etnis bersenjata lainnya, serta melawan Partai Komunis Burma.

Dia adalah panglima tertinggi angkatan bersenjata selama tindakan keras terhadap protes mahasiswa seputar pemakaman U Thant, mantan sekretaris jenderal PBB, pada tahun 1974.

Pada tahun 1976, di tengah apa yang beberapa analis lihat sebagai perebutan kekuasaan, Bapak Tin Oo dituduh korupsi dan sebagai orang yang mendukung upaya kudeta yang gagal. Dia dipenjarakan hingga tahun 1980, ketika dia dibebaskan dalam salah satu amnesti umum.

Dia ditangkap lagi satu dekade kemudian karena aktivitas oposisi dan menghabiskan bertahun-tahun di penjara dan tahanan rumah.

Penangkapannya terakhir adalah pada Mei 2003, ketika dia dan Nyonya Aung San Suu Kyi ditangkap setelah konvoi mobil mereka diserang oleh massa pro-pemerintah dalam apa yang beberapa pendukung katakan sebagai upaya pembunuhan. Mereka berdua dibebaskan pada tahun 2010.

“Ketika sekelompok teroris mendekati mobil Nyonya Aung San Suu Kyi, U Tin Oo keluar dan berteriak pada para teroris: `Kalian, ini mobil Nyonya Aung San Suu Kyi, mundurlah.’” kata U Tun Myint, yang berada dalam konvoi.

Baik Nyonya Aung San Suu Kyi maupun Bapak Tin Oo berhasil melarikan diri, meskipun puluhan orang lain diyakini telah tewas. Mereka berdua kemudian ditangkap.

Pada tahun 2015, N.L.D. memenangkan pemilihan demokratis nasional yang sesungguhnya pertama dan mulai melakukan transisi sulit dari kelompok oposisi menjadi partai pemerintahan.

Partai itu memenangkan kemenangan telak dalam pemilihan kedua pada tahun 2020. Namun, mereka dijatuhkan dalam kudeta tahun berikutnya. Pemberontakan nasional dan tindakan keras yang berlanjut menyusul.

Nyonya Aung San Suu Kyi ditangkap dan dihukum dalam serangkaian kasus yang tampaknya dimaksudkan untuk menjaganya tetap ditahan tanpa batas. Bapak Tin Oo diizinkan tinggal di rumahnya dan terus bersuara mendukung demokrasi.

Para keluarga Bapak Tin Oo termasuk istrinya, Dr. Tin Moe Wai, yang kini berusia 99 tahun dan yang ditemuinya ketika dia berprofesi sebagai dokter di rumah sakit tempat dia dirawat karena luka pertempuran, dan putranya Thant Zin Oo.