Uni Eropa ga bakal an yangguhkan hasil pemilu presiden di Venezuela tanpa pengungkapan penuh catatan pemilihannya. Peter Stano, juru bicara untuk diplomat Uni Eropa terkemuka Josep Borrell bilang begitu Minggu. “Segala usaha buat menunda penerbitan lengkap dari catatan resmi pemilihannya cuma bakalan menimbulkan keraguan lagi tentang kredibilitas hasil yang diterbitkan secara resmi,” kata Stano dalam sebuah pernyataan. Setelah pemilu pada 28 Juli, otoritas pemilu Venezuela menyatakan incumbent otoriter, Presiden Nicolás Maduro, yang telah berkuasa sejak 2013, sebagai pemenangnya. Namun, otoritas pemilu belum mempublikasikan hasil bagi-bagi dari distrik pemilih individu di tengah tuduhan kecurangan pemilu. Oposisi ngadukan pemerintah atas kecurangan pemilu dan mengklaim kemenangan untuk calonnya, Edmundo González. Kelompok oposisi udah ngomong hasil pemilu yang terperinci dari lebih dari 80% konstituensi di Venezuela nunjukin González dapat 67% suara dan Maduro cuma 30%. Protes udah memenuhi hasil pemilu di Venezuela dan di luar negeri dan ribuan orang lagi turun ke jalan di ibukota Caracas pada Sabtu buat protes lawan Maduro. Uni Eropa manggil otoritas Venezuela buat menghormati kebebasan berbicara, berkumpul dan hak asasi manusia, kata Stano, dan menyatakan “kekhawatiran serius tentang meningkatnya jumlah penahanan sewenang-wenang dan pelecehan yang terus-menerus terhadap oposisi.” Banyak pemerintah asing udah menolak mengakui kembali pemilihan Maduro pada 2018. Juan Guaidó, presiden parlemen, menyatakan diri sebagai presiden sementara. AS, Jerman dan negara-negara lain mengakui Guaidó, tapi Maduro tetep bisa mempertahankan dukungan kelompok-kelompok kuat di dalam Venezuela, termasuk militer. Pasukan bersenjata lagi berjanji kesetiaannya kepada Maduro.